16 Februari 2008

Mandi Samudera

IMPIAN Agus T Atmaja dulu, ingin memiloti pesawat terbang. Tapi, setelah usia beranjak dewasa dan sempat mengikuti kegiatan Bintal Juang Remaja Bahari di atas geladak Kapal Republik Indonesia (KRI) Teluk Semangka, salah satu acara rutin tahunan gawean Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL), akhirnya lelaki kelahiran Pringsewu 16 Agustus 1978 ini 'banting stir' jatuh hati melamar menjadi prajurit matra laut. Seiring pergeseran masa, kini Agus telah menyandang pangkat Kelasi Kepala (KLK), bertambahlah tantangan serta tanggungjawabnya.

Menilik Tahun 1997 silam, tampaknya 'Dewi Fortuna" menyertai cita-cita pemilik zodiak Leo bershio Kuda itu. Putra pasangan Mardan dan Ernawati ini, sukses melenggang masuk Sekolah Calon Tamtama (Secata) Komando Pendidikan Angkatan Laut (Kodikal) Surabaya, usai lolos seleksi panitia daerah di Lanal Panjang, Lampung. "Lulus SMA, saya terus mendaftar Angkatan Laut," kenangnya kepada saya, sore kemarin. Tuntas digembleng di Kota Pahlawan, saat itu Kelasi Dua (KLD) Agus meninggalkan kampus yang kini bernama Kobangdikal itu. Awal bertugas, pria yang doyan ikan bakar itu di drop ke Pangkalan TNI-AL (Lanal) Tanjungpinang.

Mengabdi mulai dari memperkuat keamanan laut di Pos Unit Gerak Keamanan (UGK) Kijang (Bintan Timur), Kawal (Gunungkijang), Pulau Numbing, lanjut Provost Detasemen Markas (Denma) Pangkalan Utama TNI-AL (Lantamal) VII yang sekarang berubah Lantamal IV di Kota Gurindam itu. Februari 2006, Agus hijrah dinas ke Batam dan sebulan kemudian menempati Pos TNI-AL Pelabuhan Magcobar, Batuampar, aktif sampai sekarang. "Saya terkesan waktu dilibatkan membimbing adik-adik dari sekolah perikanan dan kelautan. Mereka berkemah di pantai Kawal, dibentuk disiplinnya, baris-berbaris, tata cara penghormatan, halang rintang, jurit malam dan pelajaran lain," bebernya. Pada puncak latihan dasar pembinaan mental, Agus bareng instruktur lainnya lantas menceburkan para siswa serentak ke laut. "Namanya mandi samudera, prosesinya sama-sama basah kuyup bergandeng tangan bergerak dari laut. Guna menanamkan jiwa kebersamaan, senasib sepenanggungan, sekaligus syarat dapat brevet atau baret," terang pemakai celana size XL yang suka mengulum senyum itu.

Tak cuma pergaulan di luar, dalam menahkodai rumah tangganya pun Agus senantiasa menerapkan disiplin. Wajar kiranya bila suami dari Murtianingsih (25) sekaligus bapak tiga orang anak, Rizky Fadillah Vikram Atmaja (6), Rizka Haylan Firadillah Atmaja (4) dan Rezy Romulus Crisna Atmaja (1,5) itu, selalu tampil enerjik, tegas, lugas dan lentur bertutur sapa. Hmm, asyik ngobrol sejenak bareng Mas Agus di dalam pos kecilnya yang terbuat dari peti kemas kosong persis di sudut bibir dermaga yang super sibuk itu, membuat saya teringat dengan mars penyemangat semasa saya mengenyam pendidikan di Kota Bahari dulu, sepenggal syairnya begini;

Pasukan Marinir senjatanya model baru
Dengan semangat, suka minum susu
Dalam pertempuran tidak pernah masuk koran
Pantang mundur, mati sudah umur

Marinir.. Marinir.. hantu laut hantu laut
Lambangnya.. Keris Samudera
Bawalah bawalah ke medan perang
Sampai tua elek, Marinir jaya..!


Sebagai catatan, Mas Agus sendiri pernah bersama dengan saya menjadi instruktur di sekolah yang saya sebutkan di atas tadi. Saya masih ingat, tengah malam buta dia memuntahkan satu magazine peluru senjata AK-45 dar der dor! memecah keheningan malam membangunkan peserta latihan. Semua adik-adik itu terjaga kaget, kelimpungan mencari seragamnya. Pasalnya, mulai dari sepatu, kaos kaki sampai topi sudah ludes ditukar-tukar dengan peserta dari tenda lainnya. Lucunya lagi, ketika memasuki detik-detik mendebarkan jurit malam, pelatih ada yang sampai mengenakan kostum dan topeng hantu, mereka sebagian memanjat pohon dan siap menerkam langkah peserta yang berjalan kaki seorang diri melewati jalan setapak yang oleh warga setempat dikenal jalan tikus.

Dini hari itu, saya sembunyi dibalik rimbun semak belukar. Seorang peserta yang tadinya terkencing-kencing ketakutan akibat "dikerjai" setan-setan jadi-jadian, saya berikan "bonus" suruh tergeletak layaknya mayat. Tak sedikit teman-teman mereka menyangka sosok tubuh melintang di rerumputan itu disangka rekannya yang pingsan, ada yang teriak minta tolong, bahkan ada pula yang terkejut dan histeris. Dua orang malah tersesat jauh keluar dari rute yang sudah dipetakan, mungkin karena melamun saat diberi arahan sebelum dilepas. Memang cukup menguras tenaga, pikiran dan tentu keberanian. Pagi sampai siang di tengah terik mentari, mereka berjemur di antara deru debu pasir putih dan deburan ombak yang berkejaran dengan sepoi angin dan liuk daun pohon kelapa di sekitarnya. Lebih banyak yang serius menyimak dan mengikuti seabrek bimbingan dan latihan. Tak jarang dilakukan bila melepas penat dengan saling memijat, bernyanyi sorak sorai diiringi tepuk tangan rame-rame, dan sudah barang tentu ada segelintir yang dianggap "lucu" harus maju.

Klimaksnya, ketika mereka menjalani tradisi pengambilan baret. Mencebur ke laut secara masal, bergulingan di pasir pantai sambil merapatkan tangan. Sesekali merayap, merangkak dan ditutup dengan ikrar setia pada tumpah darah, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sudah menjadi harga mati!. Tak perlu penasaran, kenapa tak saya sebutkan secara gamblang papan plang sekolah yang saya sentil tadi, tak perlulah saya sebut nama sekolah itu, toh kepala sekolahnya pun belum tentu mau merekomendasikan "mesin ATM"nya itu dipromosikan karena suatu alasan. Apalagi, beda pendapat tentang materi penerapan kedisiplinan taruna dengan warna semi militer, membuat saya dan orang nomor satu di sekolah itu pecah. Saya menyayangkan, kepala sekolah cenderung mementingkan urusan pribadi dan keluarga, lalu mengabaikan struktur organisasi yang sudah berjalan. Tapi sudahlah, itu sudah bagian dari perjalanan waktu, sejengkal kenangan saya merantau di negeri orang.(uka suara dinata)

Baca Selengkapnya...